Pada hari ini
kawan-kawan Rumah Syariah kembali memulai petualangan intelektualnya bersama
Imam besar Ibnu Daqiq al-‘Id (W.702 H) melalui magnum opusnya Ihkam al-Ahkam
yang merupakan penjelasan kitab Umdah al-Ahkam.
Sebagaimana
ritme petualangan yang senantiasa berjalan hingga pertemuan kelima, sore hari
tadi. Setiap pertemuan diupayakan membahas satu hadis. Dan pada kesempatan kali
ini, ustadz Bitoh Purnomo menerangkan maksud hadis kelima dalam kitab Umdah
al-Ahkam.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
لَا يَبُولَنَّ
أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ منه
Artinya: “Janganlah salah seorang dari kalian membuang air seni di
air yang tergenang (yaitu) air yang tidak mengalir, kemudian mandi dari air
tersebut”.
Hadis ini mencakup beberapa makna yang dikaji. Imam Ibnu Daqiq
al-‘Id mencoba memaparkan pengertian "الماء الدائم" yang bermakna الراكد (tergenang). Adapun kata
"لا يجري" merupakan ta`kid / penegas dari pengertian
"الماء الدائم".
Hadis ini menjadi dasar bagi Imam Abu Hanifah bahwasanya air yang
tergenang jika bercampur dengan air seni, maka hukumnya najis. Terlepas dari
kadar air yang tergenang tersebut kurang ataupun melebihi dua kulah (216
liter), baik air tersebut berubah warna, rasa, baunya ataupun tidak. Menurut
beliau air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci. Berpegang dengan keumuman
hadis diatas.
Imam Syafii menilai bahwasanya hadis tersebut bersifat umum,
sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam Abu Hanifah. Namun terdapat pengkhususan
dari beliau yang mana menghasilkan natijah yang berbeda dengan Imam Abu
Hanifah. Menurutnya, jika air kurang dari dua kulah,maka air tersebut dapat
dikatakan najis. Akan tetapi, jika air tersebut lebih dari dua kulah, maka
tidaklah najis, kecuali jika berubah salah satu dari tiga sifat air, baik
warna, rasa, maupun baunya. Adapun dalil pengkhususan beliau terhadap nas hadis
diatas yang bersifat umum, yaitu berpegang pada sabda Rasulullah Saw.:
إذا كان الماء قلتين
لم يحمل الخبث
Artinya:” Apabila air (mencapai kadar) dua kulah, maka tidak
mengandung kotoran”
Lantas, bagaimana Imam Abu Hanifah memandang hadis ini? Ada dua
kemungkinan
1. Riwayat tidak sampai kepada beliau, dengan ini bisa berarti imam
abu hanifah hanya berpegang pada hadis larangan buang air seni diatas
2. kemungkinan sampainya hadis tersebut ke beliau, disini ada tiga
kemungkinan berdasarkan penghukuman terhadap hadis :
- hadis bisa digunakan hujjah sesuai standarisasi madzhab beliau,
dan kehujjahannya setara dengan hadits
larangan buang air seni, berdasarkan kemungkinan ini maka tidak terjadi
tarjih Antara dalil melainkan beliau mengedepankan hadis larangan atas hadis
qullatain lantaran dalalah hadis larangan umum dan itu berarti qoth`i dan dalalah
hadis qullatain khusus yang berarti zonny, dan berdasarkan madzhab beliau umum
didahulukan atas khusus.
- hadis bisa diguanakan hujjah namun status hadis qullatain tidak
lebih kuat dibandingkan hadis laranagan buang air seni, dan berdasarkan kaidah
ushuliah di madhab hanafiah yang menyatakan jika terjadi kontradiksi zohir
Antara dalil, langkah pertama adalah tarjih, dan ini berarti hadis larangan buang
air seni didahulukan atas hadis qullatain
- hadis tidak sah untuk dijadikan dalil, jika begini maka jelas
beliau hanya menyandarkan pendapatnya dengan hadis larangan buang air seni.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal memiliki metode lain dalam
menetapkan hukum. Beliau membedakan jenis "خبث" (kotoran) nya, apakah
kotoran itu merupakan air seni atau segala sesuatu yang bersifat cair? Atau kah
najis-najis lain selain air seni dan segala sesuatu yang bersifat cair?
Konsekuensinya, jika kotoran tersebut merupakan air seni atau segala sesuatu
yang bersifat cair, maka air tergenang yang bercampur dengan najis tersebut
menjadi haram digunakan. Sebaliknya, jika najis tersebut bukan air seni maupun
najis yang bersifat cair, seperti tinja kucing, sapi,dan lain-lain, maka air
tersebut dapat digunakan untuk bersuci, dengan catatan telah memenuhi standar
dua kulah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis diatas dan tidak ada
perubahan di dalamnya baik dari segi warna, bau, maupun rasa.
Imam Ibnu Daqiq al-‘Id menekankan bahwa hadis kelima dalam kitab
Umdah al-Ahkam harus ditafsirkan keluar dari makna yang tersurat. Karena
konsekuensinya, jika tetap menggunakan makna yang tersurat, maka orang yang
membuang air seni di lautan, air laut tersebut menjadi najis seluruhnya dan
haram digunakan.
Hal itu berdasarkan ijmak bahwa air yang melimpah ruah tidak
terpengaruhi dengan najis yang jatuh kedalamnya,
Jika demikian maka bisa dipastikan
mazhab hanafi juga berpendapat
bahwa air laut yang tercampur dengan air seni atau najis lainnya tidaklah najis, secara ijmak. Dan ini
menegaskan pendapat ibnu daqiq bahwa hadis tersebut mesti mengalami pengkhsusan
tak terkecualai pada mazhab Hanafi, yang pada pernyataan di awal seakan
mengumumkan hukum penajisan air tarhadap seluruh air meski melimpah ruah.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwasanya lafal larangan yang
tersurat dalam hadis, yaitu lafal "لا يبولن" dibawa kepada dua makna
1. Larangan yang bersifat makruh
2. Larangan yang bersifat haram
Huruf lam
(jangan_red) dibawa kepada makna yang pertama, jika air tidak mengalami
perubahan baik warna,rasa, maupun baunya. Terlepas apakah air tersebut kurang
dari 2 kulah ataupun lebih, selama tidak terdapat perubahan dalam
sifat-sifatnya, maka makruh untuk digunakan.
Huruf lam
dibawa kepada makna yang kedua, jika air mengalami perubahan dari
sifat-sifatnya.
Petualangan
yang menarik ini akhirnya usai setelah berkumandang suara adzan maghrib dari
toa pemanggil di setiap sudut-sudut masjid di kawasan Husein. Pembahasan hadis
kelima pun belum usai, karena masih terdapat beberapa pembahasan terkait
riwayat lain dalam hadis tersebut.
0 comments:
Post a Comment