Thursday, September 11, 2014

Hadits Ke-5 Umdah al-Ahkam

Pada hari ini kawan-kawan Rumah Syariah kembali memulai petualangan intelektualnya bersama Imam besar Ibnu Daqiq al-‘Id (W.702 H) melalui magnum opusnya Ihkam al-Ahkam yang merupakan penjelasan kitab Umdah al-Ahkam.
Sebagaimana ritme petualangan yang senantiasa berjalan hingga pertemuan kelima, sore hari tadi. Setiap pertemuan diupayakan membahas satu hadis. Dan pada kesempatan kali ini, ustadz Bitoh Purnomo menerangkan maksud hadis kelima dalam kitab Umdah al-Ahkam.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ منه
Artinya: “Janganlah salah seorang dari kalian membuang air seni di air yang tergenang (yaitu) air yang tidak mengalir, kemudian mandi dari air tersebut”.
Hadis ini mencakup beberapa makna yang dikaji. Imam Ibnu Daqiq al-‘Id mencoba memaparkan pengertian "الماء الدائم" yang bermakna الراكد (tergenang). Adapun kata "لا يجري" merupakan ta`kid / penegas dari pengertian "الماء الدائم".
Hadis ini menjadi dasar bagi Imam Abu Hanifah bahwasanya air yang tergenang jika bercampur dengan air seni, maka hukumnya najis. Terlepas dari kadar air yang tergenang tersebut kurang ataupun melebihi dua kulah (216 liter), baik air tersebut berubah warna, rasa, baunya ataupun tidak. Menurut beliau air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci. Berpegang dengan keumuman hadis diatas.
Imam Syafii menilai bahwasanya hadis tersebut bersifat umum, sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam Abu Hanifah. Namun terdapat pengkhususan dari beliau yang mana menghasilkan natijah yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Menurutnya, jika air kurang dari dua kulah,maka air tersebut dapat dikatakan najis. Akan tetapi, jika air tersebut lebih dari dua kulah, maka tidaklah najis, kecuali jika berubah salah satu dari tiga sifat air, baik warna, rasa, maupun baunya. Adapun dalil pengkhususan beliau terhadap nas hadis diatas yang bersifat umum, yaitu berpegang pada sabda Rasulullah Saw.:
إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث
Artinya:” Apabila air (mencapai kadar) dua kulah, maka tidak mengandung kotoran”
Lantas, bagaimana Imam Abu Hanifah memandang hadis ini? Ada dua kemungkinan  
1. Riwayat tidak sampai kepada beliau, dengan ini bisa berarti imam abu hanifah hanya berpegang pada hadis larangan buang air seni diatas
2. kemungkinan sampainya hadis tersebut ke beliau, disini ada tiga kemungkinan berdasarkan penghukuman terhadap hadis :
- hadis bisa digunakan hujjah sesuai standarisasi madzhab beliau, dan kehujjahannya setara dengan hadits  larangan buang air seni, berdasarkan kemungkinan ini maka tidak terjadi tarjih Antara dalil melainkan beliau mengedepankan hadis larangan atas hadis qullatain lantaran dalalah hadis larangan umum dan itu berarti qoth`i dan dalalah hadis qullatain khusus yang berarti zonny, dan berdasarkan madzhab beliau umum didahulukan atas khusus.
- hadis bisa diguanakan hujjah namun status hadis qullatain tidak lebih kuat dibandingkan hadis laranagan buang air seni, dan berdasarkan kaidah ushuliah di madhab hanafiah yang menyatakan jika terjadi kontradiksi zohir Antara dalil, langkah pertama adalah tarjih, dan ini berarti hadis larangan buang air seni didahulukan atas hadis qullatain
- hadis tidak sah untuk dijadikan dalil, jika begini maka jelas beliau hanya menyandarkan pendapatnya dengan hadis larangan buang air seni.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal memiliki metode lain dalam menetapkan hukum. Beliau membedakan jenis "خبث" (kotoran) nya, apakah kotoran itu merupakan air seni atau segala sesuatu yang bersifat cair? Atau kah najis-najis lain selain air seni dan segala sesuatu yang bersifat cair? Konsekuensinya, jika kotoran tersebut merupakan air seni atau segala sesuatu yang bersifat cair, maka air tergenang yang bercampur dengan najis tersebut menjadi haram digunakan. Sebaliknya, jika najis tersebut bukan air seni maupun najis yang bersifat cair, seperti tinja kucing, sapi,dan lain-lain, maka air tersebut dapat digunakan untuk bersuci, dengan catatan telah memenuhi standar dua kulah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis diatas dan tidak ada perubahan di dalamnya baik dari segi warna, bau, maupun rasa.
Imam Ibnu Daqiq al-‘Id menekankan bahwa hadis kelima dalam kitab Umdah al-Ahkam harus ditafsirkan keluar dari makna yang tersurat. Karena konsekuensinya, jika tetap menggunakan makna yang tersurat, maka orang yang membuang air seni di lautan, air laut tersebut menjadi najis seluruhnya dan haram digunakan.
Hal itu berdasarkan ijmak bahwa air yang melimpah ruah tidak terpengaruhi dengan najis yang jatuh kedalamnya,
Jika demikian maka bisa dipastikan  mazhab  hanafi juga berpendapat bahwa air laut yang tercampur dengan air seni atau najis  lainnya tidaklah najis, secara ijmak. Dan ini menegaskan pendapat ibnu daqiq bahwa hadis tersebut mesti mengalami pengkhsusan tak terkecualai pada mazhab Hanafi, yang pada pernyataan di awal seakan mengumumkan hukum penajisan air tarhadap seluruh air meski melimpah ruah.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwasanya lafal larangan yang tersurat dalam hadis, yaitu lafal "لا يبولن" dibawa kepada dua makna
1.  Larangan yang bersifat makruh
2. Larangan yang bersifat haram

Huruf lam (jangan_red) dibawa kepada makna yang pertama, jika air tidak mengalami perubahan baik warna,rasa, maupun baunya. Terlepas apakah air tersebut kurang dari 2 kulah ataupun lebih, selama tidak terdapat perubahan dalam sifat-sifatnya, maka makruh untuk digunakan.

Huruf lam dibawa kepada makna yang kedua, jika air mengalami perubahan dari sifat-sifatnya.

Petualangan yang menarik ini akhirnya usai setelah berkumandang suara adzan maghrib dari toa pemanggil di setiap sudut-sudut masjid di kawasan Husein. Pembahasan hadis kelima pun belum usai, karena masih terdapat beberapa pembahasan terkait riwayat lain dalam hadis tersebut.

0 comments:

Post a Comment