Bagi seseorang
yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, seorang pelajar agama,
apalagi seorang mahasiswa fakultas Syariah Islamiyah, tentu
sudah sangat populer dalam benaknya ketika membaca atau mendengar tiga istilah
berikut; Fikih, Qowaid Fiqhiyah, dan Ushul Fikih. Namun, dari sekian banyak
tadi yang sudah familiar dengan tiga istilah tersebut, tidak sedikit pula yang
belum memahami dengan pasti apa yang dimaksud dengan mereka. Maka mari sejenak
meluangkan waktu menelaah makna dari tiga istilah tersebut sehingga nanti
ketika tertuntut untuk menjelaskan tidak dengan asal-asalan.
PENGERTIAN ISTILAH
1. FIKIH
Dalam
menjelaskan istilah-istilah, para ulama hampir selalu mengambil dua metode pendekatan,
yaitu pendekatan etimologi (bahasa) dan pendekatan terminologi (istilah).
Secara etimologi
kata “Fikih” mempunyai makna الفهم مطلقا (faham secara mutlak), baik itu memahami dengan teliti ( دقيقا ) atau tidak, juga apakah pemahaman tadi sesuai dengan maksud
pembicara ( غرضا للمتكلم )
atau tidak. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qurán seperti (فما لهؤلاء القوم لايكادون يفقهون حديثا اي
لا يفهمون )
dan ayat (وإن من شيء إلا يسبح بحمده ولكن لا تفقهون تسبيحهم أي
لاتفهمون تسبيحهم ).
Sedangkan secara terminologi kata “fikih”
dimutlakkan untuk dua makna1 :
a.
Fikih adalah mengetahui
hukum-hukum syarí yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (muslim,
baligh, berakal) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (معرفة الأحكام الشرعية المتعلقة بأعمال المكلفين وأقوالهم المكتسبة من أدلتها
التفصيلية ).
Hal ini seperti pengetahuan kita bahwa niat ketika berwudlu adalah wajib di
ambil dari dalil tafsily ( إنما الأعمال بالنيات ), pengetahuan kita bahwa niat pada malam hari adalah salah
satu syarat sah puasa fardlu diketahui dari dalil ( من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له ) dan pengetahuan kita bahwa mengusap
sebagian kepala adalah wajib di ambil dari dalil ( وامسحوا برؤوسكم ), serta yang lainnya. Semuanya tadi dinamakan dengan fikih
menurut istilah fuqoha’.
b.
Pengertian fikih secara
istilah yang kedua adalah hukum syar’I itu sendiri ( الأحكام الشرعية نفسها ). Sehingga ketika kita bilang “dia
sedang belajar fikih”, maka yang dimaksud dari perkataan tersebut adalah “dia
sedang mempelajari hukum-hukum syarí yang ada dalam kitab-kitab fikih”, seperti
hukum-hukum permasalahan wudlu, hukum-hukum permasalahan sholat dan sebagainya.
Dari dua pengertian fikih yang telah dipaparkan di
atas dapat di ambil bahwa perbedaan keduanya adalah pada “mengetuhui” dan “hukum”nya.
Maka kata fikih ketika di sebut adakalanya bermakna “mengetahui hukum-hukum syarí”
dan adakalanya bermakna “hukum-hukum syarí itu sendiri” sesuai dengan konteks
kalimat.
2. QOWAID FIQHIYAH
Istilah al-Qowaid
al-Fiqhiyah atau yang lebih di kenal dengan Kaidah Fikih dalam bahasa
Indonesia tersusun dari dua kata, “Qowaid” yang merupakan bentuk jamak (plural)
dari “qoidah” dan “Fiqhiyah” yang merupakan nisbah dari dasar kata “fikih”.
Untuk memahami
apa itu Qowaid Fiqhiyah maka perlu diketahui apa itu “qowaid” dan apa
itu “fikih” terlebih dahulu sebelum nanti bakal diketahui apa makna dari
gabungan dua kata tersebut. Pembahasan mengenai fikih sudah dijelaskan
sebelumnya maka sekarang yang perlu dipahami adalah makna dari kata “Qowaid”.
Qowaid atau qoidah
secara etimologi mempunyai arti sesuatu yang menjadi landasan atau pondasi ( الشيء الأساس التي يبنى عليه ), sedangkan dalam
pengertian terminologi qoidah adalah hukum global yang diterapkan pada furu’
(cabang-cabang)nya untuk mengetahui hukum dari furu’ tersebut (حكم كلي ينطبق على جميع جزئياته غالبا لتعرف
أحكامها منه إما على سبيل القطع أو على سبيل الظن )2.
Sehingga, Kaidah Fikih adalah hukum syarí
secara global yang diterapkan pada furu’ (cabang-cabang)nya untuk
mengetahui hukum dari furu’ tersebut. Seperti misalnya kaidah fikih “setiap
perkara itu tergantung niatnya” ( الأمور بمقاصدها ), maka dari kaidah ini diketahui bahwa setiap ibadah itu tidak
sah kecuali disertai dengan niat, dengan beberapa alasan yang dipaparkan panjang
lebar dalam pembahasan ilmu Kaidah Fikih.
Namun sebagaimana pengertiannya tadi bahwa
kaidah fikih adalah hukum syarí secara global, kata global atau غالب dalam Bahasa arab yang berarti sebagian besar atau tidak semua
dan mempunyai pengecualian, maka pada setiap kaidah fikih ini hampir selalu
terdapat pengecualian. Misalnya pada kaidah “setiap perkara itu tergantung
niatnya” atau setiap ibadah itu harus diniati ibadah, terdapat beberapa
permasalahan furu’ disana alias terdapat beberapa ibadah yang tidak harus
diniati ibadah tapi tetap bernilai ibadah. Contohnya yaitu membaca al-Qurán,
dzikir dan yang lainnya. Ibadah-ibadah ini tidak perlu diniati ibadah ketika
dilaksanakan namun tetap bernilai ibadah, karena tidak ada kegiatan serupa
selain karena ibadah.
3. USHUL FIKIH
Untuk istilah Ushul
Fikih terdapat dua pemahaman, pemahaman secara susunan kata dan pemahaman
setelah istilah tersebut ditetapkan sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan.
a.
Pemahaman Secara Susunan
Kata
Seperti Kaidah Fikih, istilah Ushul Fikih tersusun
dari dua kata, “al-Ushul” yang merupakan bentuk jamak dari kata “al-Aslu” dan
“al-Fiqh”. Mengenai fikih sudah dijelaskan sebelumnya baik secara etimologi
maupun terminologi, maka sekarang yang perlu di bahas cukup kata “al-Aslu”nya
untuk mengetahui apa makna istilah Ushul Fikih ditinjau dari susunan katanya.
Kata al-Aslu secara etimologi mempunyai makna
seperti kata kaidah, yaitu sesuatu yang menjadi landasan atau pondasi ( الشيء الأساس التي يبنى عليه ). Sedangkan secara
terminologi al-Aslu mempunyai empat makna;
-
Sesuatu yang kepadanya
sesuatu yang lain diqiyaskan ( الصورة المقيس عليها ), seperti perkataan الخمر أصل للنبيذ . Makna dari aslu di sana adalah al-maqis alihi.
-
Kaidah dasar ( القاعدة المستمرة ), seperti perkataan إباحة الميتة للمضطر على خلاف الأصل أي على خلاف
القاعدة المستمرة
-
Yang rojih ( الراجح ) seperti pernyataan الأصل في الكلام الحقيقة dan
-
Dalil ( الدليل )
seperti pada kalimat الأصل في وجوب الزكاة قوله تعالى "أتوا
الزكاة", makna aslu di sana adalah dalil.
Karena
istilahnya adalah Ushul Fikih, lafad ushul disandarkan pada lafad fikih,
maka dari keempat makna istilahi dari al-Aslu yang paling pas adalah
ketika bermakna dalil, sehingga ketika disusun (Ushul Fikih) bermakna “dalil-dalil
global yang dengannya diketahui hukum-hukum syarí yang berkaitan dengan
pekerjaan mukallaf (muslim, baligh, berakal) yang diambil dari
dalil-dalil yang terperinci” ( الأدلة الإجمالية التي يبنى عليها معرفة الأحكام الشرعية
المتعلقة بأعمال المكلفين وأقوالهم المكتسبة من أدلتها التفصيلية ).
b.
Pemahaman Setelah menjadi
Sebuah Cabang Ilmu
Sedangkan makna Ushul Fikih setelah dijadikan
sebagai sebuah cabang ilmu adalah mengetahui keadaan-keadaan dalil fikih secara
global, cara beristifadah dari dalil-dalil fikih tersebut, dan hal ihwal
mujtahid ( معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الإستفادة منها وحال المستفيد )3, mencakup tiga komponen.
komponen pertama
dari pengertian di atas adalah “mengetahui keadaan-keadaan dalil fikih
secara global”, misal dari kompenen ini adalah kaidah kata perintah baik di
dalam al-Qurán maupun al-Hadits yang merupakan sumber dalil hukum syarí ketika
tidak dibarengi dengan sesuatu yang menunjukkan pada makna lain, maka perintah
tersebut diartikan sebagai perintah wajib. Contohnya kalimat “أقيموا الصلاة”, karena tidak ada sesuatu yang
mengarahkannya pada makna lain maka dengan kaidah tadi mujtahid
menetapkan bahwa hukum dari sholat lima waktu adalah wajib.
Kemudian komponen kedua pengertian Ushul Fikih tadi (cara
beristifadah dari dalil-dalil fikih tersebut) yaitu bahwa salah satu
fokus pembicaraan dalam ilmu Ushul Fikih adalah hal-hal yang berkaitan dengan
pentarjihan dalil-dalil fikih tafsily ketika terjadi tabrakan.
Dan komponen terakhir (hal ihwal mujtahid) yaitu bahwa
ilmu ushul fikih membahas hal-hal yang berkaitan dengan mujtahid, mulai
dari syarat-syarat bisa dikatakan sebagai seorang mujtahid dan
sebagainya.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas setidaknya dapat ditarik beberapa kesimpulan :
1. Fikih itu mempunyai dua makna, bisa berarti “pengetahuan akan
hukum-hukum syarí” atau “hukum syarí itu sendiri”, yang keduanya merupakan
hasil ijtihad dari dalil-dalil yang terperinci.
2. Kaidah fikih adalah hukum syarí secara global yang diterapkan pada furu’
(cabang-cabang)nya untuk mengetahui hukum dari furu’ tersebut. Sehingga
dalam permasalahan ini terdapat ikhtilaf di antara para ulama’ apakah ia boleh
digunakan untuk menetapkan hukum ataukah tidak, karena dia tidak bersifat
mutlak melainkan hanya bersifat global saja berbeda dengan ushul fikih. sedangkan
yang disepakati tentang kaidah fikih adalah dia boleh digunakan sebagai penguat
dalam penetapan hukum.
3. Ushul fikih adalah mengetahui keadaan-keadaan dalil fikih secara
global, cara beristifadah dari dalil-dalil fikih tersebut, dan hal ihwal
mujtahid. Sehingga dalam cabang ilmu ini yang di bahas adalah seputar
tiga komponen tersebut.
1 alfiqh almanhaji.darul qolam.hal 7
2 Abdul Aziz Muhammad
Azzam.alqowaid alfiqhiyah.darul hadits. Hal 11
3 Abdul Fatah husani.buhuts
fi ushul fiqh.hal 6
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment