“Bisakah Istihsan
dijadikan dalil?”
Sebagaimana kita
tahu bahwa ‘Istihsan’ merupakan salah satu dalil yang tidak disepakati
keargumentasiannya oleh para ulama, yang dengannya istihsan dimasukkan
dalam daftar dalil-dalil yang ‘mukhtalaf fiha’. Namun, apakah perbedaan
pendapat diantara mereka benar-benar tejadi pada hakikat Istihsan itu
sendiri atau khilaf yang ada hanyalah khilaf lafdzi, yang sehingga itu artinya
tidak ada perbedaan diantara ulama terkait kepantasan Istihsan sebagai argumentasi?
Untuk menjawab
permasalahan ini, maka kita sangatlah perlu dengan baik mengetahui makna Istihsan
yang dikehendaki oleh para ulama yang mengatakan keargumentasiannya dan yang
menolak. Sebelum itu, secara singkat, ada 2 madzhab dalam masalah
keargumentasian Istihsan :
1.
Ulama yang
mengingkari keargumentasian Istihsan, mereka adalah Imam Syafii , Ibnu
Hazm Al Dzahiri , Mu’tazilah dan seluruh
ulama Syiah.
2.
Ulama yang
mengatakan keargumentasian Istihsan, mereka ialah para ulama madzhab
Hanafi , Maliki dan Hanbali.
Berikut definisi
yang diungkapkan oleh para pro Istihsan :
• Ialah tidak menghukumi suatu
masalah dengan suatu hukum yang padahal masalah-masalah lain yang sama dihukumi
dengan hukum tersebut, dikarenakan adanya dalil lebih kuat yang menghendaki
masalah tersebut tidak dihukumi dengan hukum yang sama. (Al Karkhi dari madzhab
Hanafi)
• Ialah menggunakan salah satu yang
lebih kuat diantara dua dalil (yang masing-masing menunjukan hukum tersendiri),
atau mengambil maslahat juz’iyah yang padahal bertentangan dengan dalil kulli.
(Imam Malik)
• Ialah tidak menghukumi suatu
masalah dengan suatu hukum yang padahal masalah-masalah lain yang sama dihukumi
dengan hukum tersebut, dikarenakan adanya dalil tertentu dari Al Quran atau
Sunah. (Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali)
• Ialah bahwa saat mengambil hukum
yang ditunjukan oleh qiyas, hal itu justru berakibat menghukumi sesuatu dengan
extrim, sehingga kemudian dalam kondisi tertentu hukum tersebut tidak diambil
karena ada hal yang mengharuskan itu pada saat-saat tertentu. (Ibnu Rusyd)
• Ialah meninggalkan hukum yang
ditunjukan oleh suatu qiyas dengan mengambil hukum lain yang ditunjukan oleh
qiyas lain yang lebih kuat atau, mentakhshis qiyas dengan dalil yang lebih
kuat. (Sebagian ulama)
Jika kita
perhatikan definisi-definisi di atas, kita akan tahu bahwa jika memang ini
adalah yang dimaksud dengan istihsan, maka sesungguhnya tidak ada
perbedaan dalam mengambil hukum istihsan. Khilaf yang ada hanyalah
khilaf lafdzi . Hal itu karena hukum yang ditunjukan oleh istihsan
menurut berbagai definisi di atas yang diungkapkan oleh para ulama yang
menyatakan keargumentasian istihsan tidak lain adalah pentarjihan
dalil atas dalil lain, bukan sekedar pendapat asal-asalan tanpa dalil.
Sedangkan jika kita meneliti argumen Imam Syafii dalam pernyataan beliau
tentang tidak layaknya Istihsan sebagai argumentasi, diantaranya yaitu :
• “…tidak berhak bagi yang mampu
menjadi hakim atau mufti untuk menghukumi atau berfatwa dengan selain dengan
dasar khabar lazim, yaitu Al
Kitab, Sunah, Ijma’ atau Qiyas.”
• “Saya tidak menemukan satu pun
ulama yang memberikan rukhsah bagi seseorang yang berakal dan beradab
(sekalipun) untuk berfatwa atau menghukumi dengan pendapatnya sendiri (tanpa
dalil)…”
• “Seandainya boleh tidak
mengamalkan qiyas, maka tentu boleh pula bagi orang berakal yang bukan
ulama untuk berkata tanpa dalil dengan dasar apa yang ia pandang baik (beristihsan).”
Maka kita akan
mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafii tentu bukanlah sebagaimana yang
dimaksud oleh para imam lain yang mengatakan bahwa Istihsan adalah ‘Hujjah
Syar’iyah’. Karena, jika kita memperhatikan ungkapan Imam Syafii, kita akan
menemukan bahwa yang dimaksud beliau adalah pendapat tanpa dalil syar’I, sedangkan
yang mengatakan kelayakan Istihsan sebagai dalil mendefinisikan Istihsan
sendiri sebagai pengunggulan suatu dalil atas dalil lain.
Selain dilihat
dari definisi, kita juga bisa menemukan hal-hal lain yang menunjukan bahwa
khilaf tentang keargumentasian Istihsan adalah khilaf lafdzi, yaitu
dengan mengetahui bagaimana sebenarnya praktek istihsan yang diterapkan
oleh para ulama yang mengatakan ke‘hujjah’annya. Oke, kita paparkan hal
itu bersamaan dengan macam-macam Istihsan :
1. Istihsan dengan
Al-Quran
Contohnya : hukum dibolehkannya wasiat. Dalam Al Quran disebutkan “Min
ba’dhi washiyyatin yusho biha aw dain”, Itu artinya wasiat dilegalkan dalam
Al Quran. Dan kebolehan ini ternyata bertentangan dengan hukum yang dikehendaki
Qiyas, yaitu tidak bolehnya wasiat. Karena, wasiat yang memiliki arti
memberi sesuatu pada saat setelah si pemberi meninggal, itu termasuk praktek
memberi oleh orang yang tidak lagi bisa memberikan hartanya. Nah, memenangkan
hukum yang ditunjukkan oleh Al Quran dengan mengesampingkan hukum yang
ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang disebut dengan ‘Istihsan’.
2. Istihsan
dengan Hadits
Menurut Qiyas, orang puasa yang makan karena lupa tetap
dihukumi batal puasanya. Karena pada dasarnya, baik yang lupa maupun yang
tidak, sama-sama memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuhnya. Tapi ternyata
Rasulullah Saw bersabda : “Barang siapa lupa, padahal sedang puasa, lalu dia
makan dan minum, hendaklah ia melanjutkan puasanya.” (Muttafaq ‘Alaih).
Nah, memenangkan hukum yang dikehendaki oleh hadits ini dengan mengesampingkan
hukum yang dikehendaki oleh Qiyas di atas, inilah yang namanya ‘Istihsan’.
3. Istihsan
dengan Ijma’
Ijma’ menyatakan bahwa akad Istishna’
itu boleh. Sedangkan Qiyas menyatakan bahwa itu tidak boleh karena
sesuatu yang diakadi tidak ada saat akad, sehingga hukumnya disamakan dengan
praktek-praktek akad yang menuntut adanya barang yang diakadi tapi barang itu
belum ada saat akad, yaitu tidak diperbolehkan. Akan tetapi, kenyataan yang
terjadi bahwa yang dimenangkan adalah hukum yang ditunjukkan oleh Ijma’.
Dan Pemenangan ini atas hukum yang ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang
disebut ‘Istihsan’.
4. Istihsan
dengan ‘Urf atau Adat
Tidak ditentukannya ukuran air yang digunakan penyewa jasa kamar
mandi, yang diperbolehkan berdasarkan ‘Urf, ternyata tidak diperbolehkan
berdasarkan Qiyas. Hal ini karena, Qiyas menuntut hal-hal yang
disewakan haruslah jelas, sebagaimana yang disyaratkan dalam akad sewa-menyewa.
Sedangkan dalam sewa jasa kamar mandi, air yang digunakan tidak dibatasi dengan
jelas. Nah, pemenangan hukum yang ditunjukkan oleh Urf atas apa yang ditunjukan
oleh Qiyas, inilah yang dimaksud dengan istilah ‘Istihsan’.
5. Istihsan dengan
Dharurah (Keadaan Darurat)
Yaitu memenangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan kondisi darurat
dengan mengesampingkan hukum yang ditetapkan bersadarkan Qiyas. Contohnya ialah
pemenangan hukum bisa disucikannya sumur yang terkotori najis dengan membuang
seluruh airnya (Darurat) atas kebalikan hukum itu, yaitu tidak bisanya sumur
yang sudah terkotori najis untuk disucikan kembali (Qiyas). Menurut Qiyas,
sumur yang sudah terkotori najis sehingga airnya menjadi mutanajjis semua,
tidak bisa disucikan kembali. Karena, sekalipun airnya dikuras habis, akan
tetapi sumur tersebut masih kotor terkena bekas najis yang mencampuri air yang
membasahi dasar dan dinding sumur, sehingga akan terus-terusan tercampuri
najis. Nah, dalam keadaan darurat seperti ini, sumur tetap bisa disucikan
berdasarkan ‘dharurah’, dengan mengesampingkan hukum yang dituntut
keberadaannya oleh Qiyas.
6. Istihsan
dengan Qiyas Khafi
Artinya, ada 2 Qiyas yang bertentangan, yaitu antara Qiyas
Jali (jelas, tampak) dan Qiyas Khafi (samar, buram), lalu Qiyas
Khafi dimenangkan atas Qiyas Jali. Contoh :
-Qiyas Jali : Bekas minumnya burung predator dihukumi najis
(diqiyaskan dengan hewan-hewan predator lainnya semisal srigala,
harimau, singa, dll.)
-Qiyas Khafi : Bekas minumnya burung predator dihukumi suci
(diqiyaskan dengan manusia karena sama-sama dagingnya haram dimakan)
Dalam hal ini, Qiyas Khafi -yang hubungan kesamaan antara
yang diqiyaskan dengan yang dijadikan bahan pengqiyasan tidak
tampak jelas- dimenangkan. Karena ternyata ada kerusakan yang terjadi dalam proses
Qiyas Jali, yaitu bahwa burung predator dalam kasus ini sejatinya tidak
bisa disamakan dengan binatang predator lainnya semisal srigala. Karena, saat
srigala minum, ia pakai lidahnya yang mengandung air liur yang tentunya najis.
Sehingga, menjadi ikut najis pula lah air bekas minumnya. Sedangkan burung
predator, ia minum dengan paruhnya. Paruh adalah tulang, dan tulang tidaklah
najis. Atas dasar inilah qiyas khafi dirajihkan atas qiyas
jali. Dan pentarjihan semacam inilah yang disebut ‘Istihsan’.
7. Istihsan
dengan Maslahat
Misalnya adalah diperbolehkannya tadhmin shana’, yaitu menjadikan
orang yang asal posisinya sebagai orang yang diamanati sehingga tidak harus
menanggung sesuatu yang rusak atau hilang kecuali karena keteledorannya, menjadi orang yang harus menanggung baik
karena keteledorannya atau bukan. Misal, A meminta B membuatkannya baju dengan
bahan yang dibawa sendiri oleh si A. Tadhmin shana’ berarti A menjadikan
si B sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas bahan yang diserahkan oleh
si A supaya dibuat baju oleh si B jika terjadi apa-apa pada bahan itu, baik
karena ulah tangan si B maupun diluar kemampuannya, semisal rusak saat terjadi
gempa bumi. Nah, secara Qiyas, hal ini tidak diperbolehkan. Karena, orang
yang jual jasa tenaga bukanlah orang yang ber-yad dhaman (harus menanggung saat
hilang atau rusak karena apapun), melainkan ber-yad amanah (tidak harus
menaggung saat hilang atau rusak, kecuali jika itu terjadi karena
keteledorannya). Akan tetapi demi kemaslahatan, tadhmin shana’
diperbolehkan untuk menjauhi kesewenang-wenangan dalam menjaga harta orang.
Wallahu
A’lam
Referensi :
1.
Muhammad Ibn Idris Al Syafi’i, Al
Umm, Dar Al Wafa, Manshurah, 2005, cet. III, juz 9.
2.
Muhamad Ibn Idris Al Syafi’i, Al
Risalah, Al Maktabah Al Ilmiyah, Beirut.
3.
Al Sarkhasi, Ushul Al Sarkhasi,
Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 1993, cet. I, juz 2.
4.
Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadzir wa
Jannatul Manadzir fi Ushul Al Fiqh ‘Ala Madzhab Al Imam Ahmad Ibn Hanbal,
Maktabah Al Rusyd, Riyad, 1997, cet. X, jilid 2.
5.
Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Ushul Al
Ahkam, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, jilid 2, juz 5-
6.
Wahbah Al Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al
Islami, Dar Al Fikr, Damaskus, 2011, cet XIX, juz 2.
7.
Abd Al Karim Zaydan, Al Wajiz fi
Ushul Al fiqh, Muassasah Risalah Nasyirun, Beirut, 2013, cet I.
8.
Umar Sulaiman Al Asyqar, Nadzarat
Fi Ushul Al Fiqh, Dar Al Nafais, Yordan, 2004, cet. II.
0 comments:
Post a Comment