Friday, August 29, 2014

Istihsan Menurut Ulama' Ushul Fikih

“Bisakah Istihsan dijadikan dalil?”
Sebagaimana kita tahu bahwa ‘Istihsan’ merupakan salah satu dalil yang tidak disepakati keargumentasiannya oleh para ulama, yang dengannya istihsan dimasukkan dalam daftar dalil-dalil yang ‘mukhtalaf fiha’. Namun, apakah perbedaan pendapat diantara mereka benar-benar tejadi pada hakikat Istihsan itu sendiri atau khilaf yang ada hanyalah khilaf lafdzi, yang sehingga itu artinya tidak ada perbedaan diantara ulama terkait kepantasan Istihsan sebagai argumentasi?
Untuk menjawab permasalahan ini, maka kita sangatlah perlu dengan baik mengetahui makna Istihsan yang dikehendaki oleh para ulama yang mengatakan keargumentasiannya dan yang menolak. Sebelum itu, secara singkat, ada 2 madzhab dalam masalah keargumentasian Istihsan :
1.       Ulama yang mengingkari keargumentasian Istihsan, mereka adalah Imam Syafii , Ibnu Hazm Al Dzahiri ,  Mu’tazilah dan seluruh ulama Syiah.
2.       Ulama yang mengatakan keargumentasian Istihsan, mereka ialah para ulama madzhab Hanafi , Maliki  dan Hanbali.
Berikut definisi yang diungkapkan oleh para pro Istihsan :
•             Ialah tidak menghukumi suatu masalah dengan suatu hukum yang padahal masalah-masalah lain yang sama dihukumi dengan hukum tersebut, dikarenakan adanya dalil lebih kuat yang menghendaki masalah tersebut tidak dihukumi dengan hukum yang sama. (Al Karkhi dari madzhab Hanafi)
•             Ialah menggunakan salah satu yang lebih kuat diantara dua dalil (yang masing-masing menunjukan hukum tersendiri), atau mengambil maslahat juz’iyah yang padahal bertentangan dengan dalil kulli. (Imam Malik)
•             Ialah tidak menghukumi suatu masalah dengan suatu hukum yang padahal masalah-masalah lain yang sama dihukumi dengan hukum tersebut, dikarenakan adanya dalil tertentu dari Al Quran atau Sunah. (Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali)
•             Ialah bahwa saat mengambil hukum yang ditunjukan oleh qiyas, hal itu justru berakibat menghukumi sesuatu dengan extrim, sehingga kemudian dalam kondisi tertentu hukum tersebut tidak diambil karena ada hal yang mengharuskan itu pada saat-saat tertentu. (Ibnu Rusyd)
•             Ialah meninggalkan hukum yang ditunjukan oleh suatu qiyas dengan mengambil hukum lain yang ditunjukan oleh qiyas lain yang lebih kuat atau, mentakhshis qiyas dengan dalil yang lebih kuat. (Sebagian ulama)
Jika kita perhatikan definisi-definisi di atas, kita akan tahu bahwa jika memang ini adalah yang dimaksud dengan istihsan, maka sesungguhnya tidak ada perbedaan dalam mengambil hukum istihsan. Khilaf yang ada hanyalah khilaf lafdzi . Hal itu karena hukum yang ditunjukan oleh istihsan menurut berbagai definisi di atas yang diungkapkan oleh para ulama yang menyatakan keargumentasian istihsan tidak lain adalah pentarjihan dalil atas dalil lain, bukan sekedar pendapat asal-asalan tanpa dalil. Sedangkan jika kita meneliti argumen Imam Syafii dalam pernyataan beliau tentang tidak layaknya Istihsan sebagai argumentasi, diantaranya yaitu :
•             “…tidak berhak bagi yang mampu menjadi hakim atau mufti untuk menghukumi atau berfatwa dengan selain dengan dasar  khabar lazim, yaitu Al Kitab, Sunah, Ijma’ atau Qiyas.”
•             “Saya tidak menemukan satu pun ulama yang memberikan rukhsah bagi seseorang yang berakal dan beradab (sekalipun) untuk berfatwa atau menghukumi dengan pendapatnya sendiri (tanpa dalil)…”
•             “Seandainya boleh tidak mengamalkan qiyas, maka tentu boleh pula bagi orang berakal yang bukan ulama untuk berkata tanpa dalil dengan dasar apa yang ia pandang baik (beristihsan).”
Maka kita akan mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafii tentu bukanlah sebagaimana yang dimaksud oleh para imam lain yang mengatakan bahwa Istihsan adalah ‘Hujjah Syar’iyah’. Karena, jika kita memperhatikan ungkapan Imam Syafii, kita akan menemukan bahwa yang dimaksud beliau adalah pendapat tanpa dalil syar’I, sedangkan yang mengatakan kelayakan Istihsan sebagai dalil mendefinisikan Istihsan sendiri sebagai pengunggulan suatu dalil atas dalil lain.
Selain dilihat dari definisi, kita juga bisa menemukan hal-hal lain yang menunjukan bahwa khilaf tentang keargumentasian Istihsan adalah khilaf lafdzi, yaitu dengan mengetahui bagaimana sebenarnya praktek istihsan yang diterapkan oleh para ulama yang mengatakan ke‘hujjah’annya. Oke, kita paparkan hal itu bersamaan dengan macam-macam Istihsan :
1. Istihsan dengan Al-Quran
Contohnya : hukum dibolehkannya wasiat. Dalam Al Quran disebutkan “Min ba’dhi washiyyatin yusho biha aw dain”, Itu artinya wasiat dilegalkan dalam Al Quran. Dan kebolehan ini ternyata bertentangan dengan hukum yang dikehendaki Qiyas, yaitu tidak bolehnya wasiat. Karena, wasiat yang memiliki arti memberi sesuatu pada saat setelah si pemberi meninggal, itu termasuk praktek memberi oleh orang yang tidak lagi bisa memberikan hartanya. Nah, memenangkan hukum yang ditunjukkan oleh Al Quran dengan mengesampingkan hukum yang ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang disebut dengan ‘Istihsan’.

2. Istihsan dengan Hadits
Menurut Qiyas, orang puasa yang makan karena lupa tetap dihukumi batal puasanya. Karena pada dasarnya, baik yang lupa maupun yang tidak, sama-sama memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuhnya. Tapi ternyata Rasulullah Saw bersabda : “Barang siapa lupa, padahal sedang puasa, lalu dia makan dan minum, hendaklah ia melanjutkan puasanya.” (Muttafaq ‘Alaih). Nah, memenangkan hukum yang dikehendaki oleh hadits ini dengan mengesampingkan hukum yang dikehendaki oleh Qiyas di atas, inilah yang namanya ‘Istihsan’.

3. Istihsan dengan Ijma’
Ijma’ menyatakan bahwa akad Istishna’ itu boleh. Sedangkan Qiyas menyatakan bahwa itu tidak boleh karena sesuatu yang diakadi tidak ada saat akad, sehingga hukumnya disamakan dengan praktek-praktek akad yang menuntut adanya barang yang diakadi tapi barang itu belum ada saat akad, yaitu tidak diperbolehkan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi bahwa yang dimenangkan adalah hukum yang ditunjukkan oleh Ijma’. Dan Pemenangan ini atas hukum yang ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang disebut ‘Istihsan’.

4. Istihsan dengan ‘Urf atau Adat
Tidak ditentukannya ukuran air yang digunakan penyewa jasa kamar mandi, yang diperbolehkan berdasarkan ‘Urf, ternyata tidak diperbolehkan berdasarkan Qiyas. Hal ini karena, Qiyas menuntut hal-hal yang disewakan haruslah jelas, sebagaimana yang disyaratkan dalam akad sewa-menyewa. Sedangkan dalam sewa jasa kamar mandi, air yang digunakan tidak dibatasi dengan jelas. Nah, pemenangan hukum yang ditunjukkan oleh Urf atas apa yang ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang dimaksud dengan istilah ‘Istihsan’.

5. Istihsan dengan Dharurah (Keadaan Darurat)
Yaitu memenangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan kondisi darurat dengan mengesampingkan hukum yang ditetapkan bersadarkan Qiyas. Contohnya ialah pemenangan hukum bisa disucikannya sumur yang terkotori najis dengan membuang seluruh airnya (Darurat) atas kebalikan hukum itu, yaitu tidak bisanya sumur yang sudah terkotori najis untuk disucikan kembali (Qiyas). Menurut Qiyas, sumur yang sudah terkotori najis sehingga airnya menjadi mutanajjis semua, tidak bisa disucikan kembali. Karena, sekalipun airnya dikuras habis, akan tetapi sumur tersebut masih kotor terkena bekas najis yang mencampuri air yang membasahi dasar dan dinding sumur, sehingga akan terus-terusan tercampuri najis. Nah, dalam keadaan darurat seperti ini, sumur tetap bisa disucikan berdasarkan ‘dharurah’, dengan mengesampingkan hukum yang dituntut keberadaannya oleh Qiyas.

6. Istihsan dengan Qiyas Khafi
Artinya, ada 2 Qiyas yang bertentangan, yaitu antara Qiyas Jali (jelas, tampak) dan Qiyas Khafi (samar, buram), lalu Qiyas Khafi dimenangkan atas Qiyas Jali. Contoh :
-Qiyas Jali : Bekas minumnya burung predator dihukumi najis (diqiyaskan dengan hewan-hewan predator lainnya semisal srigala, harimau, singa, dll.)
-Qiyas Khafi : Bekas minumnya burung predator dihukumi suci (diqiyaskan dengan manusia karena sama-sama dagingnya haram dimakan)
Dalam hal ini, Qiyas Khafi -yang hubungan kesamaan antara yang diqiyaskan dengan yang dijadikan bahan pengqiyasan tidak tampak jelas- dimenangkan. Karena ternyata ada kerusakan yang terjadi dalam proses Qiyas Jali, yaitu bahwa burung predator dalam kasus ini sejatinya tidak bisa disamakan dengan binatang predator lainnya semisal srigala. Karena, saat srigala minum, ia pakai lidahnya yang mengandung air liur yang tentunya najis. Sehingga, menjadi ikut najis pula lah air bekas minumnya. Sedangkan burung predator, ia minum dengan paruhnya. Paruh adalah tulang, dan tulang tidaklah najis. Atas dasar inilah qiyas khafi dirajihkan atas qiyas jali. Dan pentarjihan semacam inilah yang disebut ‘Istihsan’.

7. Istihsan dengan Maslahat
Misalnya adalah diperbolehkannya tadhmin shana’, yaitu menjadikan orang yang asal posisinya sebagai orang yang diamanati sehingga tidak harus menanggung sesuatu yang rusak atau hilang kecuali karena keteledorannya,  menjadi orang yang harus menanggung baik karena keteledorannya atau bukan. Misal, A meminta B membuatkannya baju dengan bahan yang dibawa sendiri oleh si A. Tadhmin shana’ berarti A menjadikan si B sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas bahan yang diserahkan oleh si A supaya dibuat baju oleh si B jika terjadi apa-apa pada bahan itu, baik karena ulah tangan si B maupun diluar kemampuannya, semisal rusak saat terjadi gempa bumi. Nah, secara Qiyas, hal ini tidak diperbolehkan. Karena, orang yang jual jasa tenaga bukanlah orang yang ber-yad dhaman (harus menanggung saat hilang atau rusak karena apapun), melainkan ber-yad amanah (tidak harus menaggung saat hilang atau rusak, kecuali jika itu terjadi karena keteledorannya). Akan tetapi demi kemaslahatan, tadhmin shana’ diperbolehkan untuk menjauhi kesewenang-wenangan dalam menjaga harta orang.

Wallahu A’lam
Referensi :

1.        Muhammad Ibn Idris Al Syafi’i, Al Umm, Dar Al Wafa, Manshurah, 2005, cet. III, juz 9.
2.        Muhamad Ibn Idris Al Syafi’i, Al Risalah, Al Maktabah Al Ilmiyah, Beirut.
3.        Al Sarkhasi, Ushul Al Sarkhasi, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 1993, cet. I, juz 2.
4.        Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadzir wa Jannatul Manadzir fi Ushul Al Fiqh ‘Ala Madzhab Al Imam Ahmad Ibn Hanbal, Maktabah Al Rusyd, Riyad, 1997, cet. X, jilid 2.
5.        Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, jilid 2, juz 5-
6.        Wahbah Al Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Dar Al Fikr, Damaskus, 2011, cet XIX, juz 2.
7.        Abd Al Karim Zaydan, Al Wajiz fi Ushul Al fiqh, Muassasah Risalah Nasyirun, Beirut, 2013, cet I.
8.        Umar Sulaiman Al Asyqar, Nadzarat Fi Ushul Al Fiqh, Dar Al Nafais, Yordan, 2004, cet. II.


0 comments:

Post a Comment