Memilih Hukum Yang Paling Ringan dari Berbagai Madzhab

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, September 11, 2014

Hadits Ke-5 Umdah al-Ahkam

Pada hari ini kawan-kawan Rumah Syariah kembali memulai petualangan intelektualnya bersama Imam besar Ibnu Daqiq al-‘Id (W.702 H) melalui magnum opusnya Ihkam al-Ahkam yang merupakan penjelasan kitab Umdah al-Ahkam.
Sebagaimana ritme petualangan yang senantiasa berjalan hingga pertemuan kelima, sore hari tadi. Setiap pertemuan diupayakan membahas satu hadis. Dan pada kesempatan kali ini, ustadz Bitoh Purnomo menerangkan maksud hadis kelima dalam kitab Umdah al-Ahkam.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ منه
Artinya: “Janganlah salah seorang dari kalian membuang air seni di air yang tergenang (yaitu) air yang tidak mengalir, kemudian mandi dari air tersebut”.
Hadis ini mencakup beberapa makna yang dikaji. Imam Ibnu Daqiq al-‘Id mencoba memaparkan pengertian "الماء الدائم" yang bermakna الراكد (tergenang). Adapun kata "لا يجري" merupakan ta`kid / penegas dari pengertian "الماء الدائم".
Hadis ini menjadi dasar bagi Imam Abu Hanifah bahwasanya air yang tergenang jika bercampur dengan air seni, maka hukumnya najis. Terlepas dari kadar air yang tergenang tersebut kurang ataupun melebihi dua kulah (216 liter), baik air tersebut berubah warna, rasa, baunya ataupun tidak. Menurut beliau air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci. Berpegang dengan keumuman hadis diatas.
Imam Syafii menilai bahwasanya hadis tersebut bersifat umum, sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam Abu Hanifah. Namun terdapat pengkhususan dari beliau yang mana menghasilkan natijah yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Menurutnya, jika air kurang dari dua kulah,maka air tersebut dapat dikatakan najis. Akan tetapi, jika air tersebut lebih dari dua kulah, maka tidaklah najis, kecuali jika berubah salah satu dari tiga sifat air, baik warna, rasa, maupun baunya. Adapun dalil pengkhususan beliau terhadap nas hadis diatas yang bersifat umum, yaitu berpegang pada sabda Rasulullah Saw.:
إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث
Artinya:” Apabila air (mencapai kadar) dua kulah, maka tidak mengandung kotoran”
Lantas, bagaimana Imam Abu Hanifah memandang hadis ini? Ada dua kemungkinan  
1. Riwayat tidak sampai kepada beliau, dengan ini bisa berarti imam abu hanifah hanya berpegang pada hadis larangan buang air seni diatas
2. kemungkinan sampainya hadis tersebut ke beliau, disini ada tiga kemungkinan berdasarkan penghukuman terhadap hadis :
- hadis bisa digunakan hujjah sesuai standarisasi madzhab beliau, dan kehujjahannya setara dengan hadits  larangan buang air seni, berdasarkan kemungkinan ini maka tidak terjadi tarjih Antara dalil melainkan beliau mengedepankan hadis larangan atas hadis qullatain lantaran dalalah hadis larangan umum dan itu berarti qoth`i dan dalalah hadis qullatain khusus yang berarti zonny, dan berdasarkan madzhab beliau umum didahulukan atas khusus.
- hadis bisa diguanakan hujjah namun status hadis qullatain tidak lebih kuat dibandingkan hadis laranagan buang air seni, dan berdasarkan kaidah ushuliah di madhab hanafiah yang menyatakan jika terjadi kontradiksi zohir Antara dalil, langkah pertama adalah tarjih, dan ini berarti hadis larangan buang air seni didahulukan atas hadis qullatain
- hadis tidak sah untuk dijadikan dalil, jika begini maka jelas beliau hanya menyandarkan pendapatnya dengan hadis larangan buang air seni.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal memiliki metode lain dalam menetapkan hukum. Beliau membedakan jenis "خبث" (kotoran) nya, apakah kotoran itu merupakan air seni atau segala sesuatu yang bersifat cair? Atau kah najis-najis lain selain air seni dan segala sesuatu yang bersifat cair? Konsekuensinya, jika kotoran tersebut merupakan air seni atau segala sesuatu yang bersifat cair, maka air tergenang yang bercampur dengan najis tersebut menjadi haram digunakan. Sebaliknya, jika najis tersebut bukan air seni maupun najis yang bersifat cair, seperti tinja kucing, sapi,dan lain-lain, maka air tersebut dapat digunakan untuk bersuci, dengan catatan telah memenuhi standar dua kulah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis diatas dan tidak ada perubahan di dalamnya baik dari segi warna, bau, maupun rasa.
Imam Ibnu Daqiq al-‘Id menekankan bahwa hadis kelima dalam kitab Umdah al-Ahkam harus ditafsirkan keluar dari makna yang tersurat. Karena konsekuensinya, jika tetap menggunakan makna yang tersurat, maka orang yang membuang air seni di lautan, air laut tersebut menjadi najis seluruhnya dan haram digunakan.
Hal itu berdasarkan ijmak bahwa air yang melimpah ruah tidak terpengaruhi dengan najis yang jatuh kedalamnya,
Jika demikian maka bisa dipastikan  mazhab  hanafi juga berpendapat bahwa air laut yang tercampur dengan air seni atau najis  lainnya tidaklah najis, secara ijmak. Dan ini menegaskan pendapat ibnu daqiq bahwa hadis tersebut mesti mengalami pengkhsusan tak terkecualai pada mazhab Hanafi, yang pada pernyataan di awal seakan mengumumkan hukum penajisan air tarhadap seluruh air meski melimpah ruah.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwasanya lafal larangan yang tersurat dalam hadis, yaitu lafal "لا يبولن" dibawa kepada dua makna
1.  Larangan yang bersifat makruh
2. Larangan yang bersifat haram

Huruf lam (jangan_red) dibawa kepada makna yang pertama, jika air tidak mengalami perubahan baik warna,rasa, maupun baunya. Terlepas apakah air tersebut kurang dari 2 kulah ataupun lebih, selama tidak terdapat perubahan dalam sifat-sifatnya, maka makruh untuk digunakan.

Huruf lam dibawa kepada makna yang kedua, jika air mengalami perubahan dari sifat-sifatnya.

Petualangan yang menarik ini akhirnya usai setelah berkumandang suara adzan maghrib dari toa pemanggil di setiap sudut-sudut masjid di kawasan Husein. Pembahasan hadis kelima pun belum usai, karena masih terdapat beberapa pembahasan terkait riwayat lain dalam hadis tersebut.

Sunday, August 31, 2014

Beberapa Istilah dalam Kitab Fikih Mazhab Syafi'i

Mazhab syafi'i lahir sebagai penengah di saat ketegangan mulai menjadi-jadi. Dalam perkembangannya ia merupakan mazhab yang mengintegralkan antara pendekatan madrasah ahlul hadist (ulama ahli hadist) dan pendekatan madrasah ahlul ra'yi (ulama aliran nalar rasional) yang ketika itu saling memberikan pengaruh pada perkembangan ilmu fikih. Tidak sedikit dari pengikut kedua kubu itu sampai bergesekan karena berbeda metodologi dalam menyimpulkan suatu hukum syar’i, walaupun, suatu perbedaan pendapat dalam ranah furu'iyah (permasalahan cabang/ non pokok ) itu tidak diingkari oleh syara' karena terdapatnya dalil-dalil yang sifatnya ambigu dan global yang membutuhkan interpretasi para fuqoha.
Mazhab syafi'i yang diprakarsai oleh Muhammad bin Idris as-Syafi'I --bernasab quraisy yang dianut oleh sebagian besar muslim di dunia-- mencoba untuk mengharmoniskan hubungan keduanya. Datang dengan pencerahan dan pandangan baru, beliau juga ulama yang pertama kali membukukan kitab usulfiqh "ar-Risalah" sebagai master-piece nya. Beliau memiliki banyak murid di Irak sebagai penerus gagasan sang imam yang dikenal dengan qoulqadim (penadat yang lama), diantaranya yang mashur adalah al-Karabisi, Abou Tsaur, Za'farani, dan Ahmad ibnu Hambal, mereka sebagai representatif dari qoulqadim imam Syafi'i. Qoulqadim adalah pendapat imam Syafi'I ketika berdomisili di Irak atau lebih tepatnya sebelum hijrah ke Mesir, sedangkan Qouljadid adalah pendapat imam Syafi'i ketika sudah pindah ke Mesir, yang disebarkan dan dijaga oleh para murid beliau, al-Muzanni, Rabi' al-Jizi, Rabi' al-Muradi dan Buwaity.
Dalam kitab "minhaj al-thalibin" karya imam Nawawi, beliau menyebutkan beberapa istilah mazhab Syafi'i, istilah untuk pendapat sang Imam mazhab atau murid-muridnya, karena hukum fikih adalah produk ijtihad para ulama yang sudah mumpuni, atau bisa juga dikatakan; kesimpulan para ulama apa yang dipahami dari dalil al-quran dan hadis akan suatu hukum tertentu. Dengan mengetahui beberapa istilah itu kita akan melihat bahwa dalam masalah furu'iyah (permasalahan non pokok dalam agama) seseorang itu boleh berbeda dengan yang lainnya dalam melaksanakan ritual ibadah, tentu dengan argumen yang kuat, sehingga ketika ada dalil yang secara tampilan luar / zahir bertentangan dengan dalil yang lain, kemudian diadu mana yang lebih kuat argumentasinya, itu lah yang mesti diikuti pendapatnya. Sebagai contoh --yang penulis kutip dari diktat kuliah Syariáh Syu’bah Islamiyah Al-Azhar--, ketika pendapat al-ashoh ( الأصح ) dalam kitab fikih mazhab syafi'i mengatakan; sah hukumnya menjual, membeli dan menyewakan "mushaf qur'an" sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibnu abbas, sedangkan pendapat al-shahih ( الصحيح ) mengatakan; menjual mushaf hukumnya makruh, maka jika dilihat dari pemaparan hukum tadi yang di anggap lebih kuat pendapatnya adalah yang al-ashoh ( الأصح ) walaupun mengikuti pendapat yang al-shahih ( الصحيح ) tetap diperbolehkan.
Berikut istilah-istilah dalam kitab fikih mazhab Syafi'i sebagaimana yang termaktub dalam kitab minhaj-nya imam Nawawi:
1. Al-Adzhar ( الأظهر) : yaitu pendapat imam Syafi'i akan suatu permasalahan yang diriwayatkan oleh murid-muridnya yang sampai kepada kita, al-adzhar ( الأظهر) adalah pendapat rajih (yang diunggulkan) ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih, antonim dari al-adzhar ( الأظهر) sekaligus yang marjuh yaitu al-dzahir ( الظاهر ).
2. Al-Masyhur (المشهور  ) : pendapat imam Syafi'i yang diunggulkan (al-rajih) dari beberapa pendapat sang Imam  ketika lawan argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).
2. Al-Ashah ( الأصح ) : pendapat para murid imam Syafi'i --yang secara umum-- diambil dari kaidah yang telah ditetapkan sang Imam dan terkadang pendapat itu berasal dari ijtihad si murid tanpa melihat pendapat sang Imam. Jika perbedaan argumentasinya itu kuat, alias ketika terdapat dua atau lebih pendapat para murid imam Syafi’I tentang sebuah permasalahan, dan dua atau lebih pendapat tadi dalil (argumentasinya)nya kuat-kuat semua, maka al-ashah ( الأصح ) adalah pendapat yang diunggulkan dan lebih kuat, sedangkannya yaitu al-shahih ( الصحيح ). Ini sama halnya dengan istilah lainya seperti; wajhain dan al-aujuh (istilah-istilah pendapat si murid)
3. Al-Turuq ( الطرق ), al-thoriqain (  الطريقين), al-mazhab ( المذهب ) : yaitu ungkapan istilah untuk perbedaan pendapat para murid dalam meriwayatkan suatu pendapat sang imam Syafií, semisal; ashabus Syafií meriwayatkan dua pendapat dalam satu permasalahan, kemudian sebagian murid sang imam menetapkan yang satu sedangkan yang lain menolak. Dan al-mazhab ( المذهب ) adalah yang rajih.
4. Al-Nash ( النص ) : adalah pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash ( النص ) yaitu dhoif (ضعيف  ) atau qoul mukhorroj ( قول مخرج ), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.
5. Al-Qadim ( القديم ): yaitu pendapat imam syafi'i sebelum berpindah ke mesir, lawan dari al-qadim adalah al-jadid.
6. Al-Jadid ( الجديد ): pendapat sang Imam as-Syafi’i ketika sebelum hijrah ke Mesir, dan beliau banyak merevisi dari sekian pendapatnya ketika di Baghdad, Irak.
7. Qila ( قيل ): adalah pendapat ashab yang lemah argumentasinya, sedangkan lawan dari qila ( قيل ) adalah al-shahih ( الصحيح ) atau al-ashah ( الأصح ).
8. Fii qaulin kadza ( في قول كذا ): yaitu pendapat Imam Syafi’I terhadap suatu masalah, yang mana lawan dari fii qaulin kadza ( في قول كذا ) adalah pendapat yang diunggulkan (al-rajih)
Demikian istilah-istilah dalam mazhab syafi'i, sebagaimana yang paparkan imam Nawawi dalam kitab minhaj al-thalibinnya, semoga bermanfaat.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas setidaknya kita dapat sedikit menyimpulkan :
1.    Ketika imam Syafi’I menelurkan beberapa pendapat dari pemikirannya dalam suatu permasalahan, maka pendapat-pendapat tersebut dinamakan sebagai aqwal ( أقوال ) ketika disampaikan oleh murid-muridnya dalam kitab-kitab fikihnya. Dan aqwal ( أقوال ) mempunyai beberapa istilah; al-Adzhar ( الأظهر) ketika pendapat tersebut hujjahnya sangat kuat dan paling kuat dari aqwal yang lainnya, al-Dzahir ( الظاهر ) ketika pendapat yang ini sebagai lawan al-Adzhar ( الأظهر)  hujjahnya sangat kuat juga, namun kekuatannya masih kalah dengan al-Adzhar ( الأظهر) dan Fii qauli kadza ( في قول كذا ) atau al-Gharib ( الغريب ) ketika pendapat yang ini hujjahnya sangat lemah. Namun ada juga istilah ketika dua pendapat imam Safi’I dalam suatu permasalahan tadi beda jauh level hujjahnya, yaitu al-Masyhur (المشهور  ) ketika pendapat yang ini hujjahnya sangat kuat dan lawannya hujjahnya sangat lemah, yaitu al-Gharib ( الغريب ) tadi.
2.    Ketika para ashab Syafi’I mempunyai beberapa pendapat dalam suatu permasalahan, maka pendapat-pendapat tersebut dinamakan sebagai aujuh ( الأوجه ) ketika disampaikan oleh murid-muridnya dalam kitab-kitab fikihnya. Sebagaimana aqwal, aujuh ( الأوجه ) juga mempunyai beberapa istilah; al-Ashah ( الأصح ) ketika pendapat tersebut hujjahnya sangat kuat dan paling kuat dari aujuh yang lainnya, al-Sahih ( الصحيح ) ketika pendapat yang ini sebagai lawan al-Ashah ( الأصح ) hujjahnya sangat kuat juga, namun kekuatannya masih kalah dengan al-Ashah ( الأصح ), dan Qila ( قيل ) ketika pendapat yang ini hujjahnya sangat lemah. Namun ada juga istilah ketika dua pendapat ashab Safi’I dalam suatu permasalahan tadi beda jauh level hujjahnya, yaitu al-Sahih ( الصحيح ) ketika pendapat yang ini hujjahnya sangat kuat dan lawannya hujjahnya sangat lemah, yaitu ad-Dlo’if ( الضعيف ).
3.    Sekiranya maklumat yang lainnya dalam pemaparan sudah cukup sehingga tidak perlu dipadatkan.

*tulisan di atas disadur dari beberapa diktat kuliah tingkat II Fakultas Syariah Syu’bah Islamiyah Al-Azhar.

Friday, August 29, 2014

Istihsan Menurut Ulama' Ushul Fikih

“Bisakah Istihsan dijadikan dalil?”
Sebagaimana kita tahu bahwa ‘Istihsan’ merupakan salah satu dalil yang tidak disepakati keargumentasiannya oleh para ulama, yang dengannya istihsan dimasukkan dalam daftar dalil-dalil yang ‘mukhtalaf fiha’. Namun, apakah perbedaan pendapat diantara mereka benar-benar tejadi pada hakikat Istihsan itu sendiri atau khilaf yang ada hanyalah khilaf lafdzi, yang sehingga itu artinya tidak ada perbedaan diantara ulama terkait kepantasan Istihsan sebagai argumentasi?
Untuk menjawab permasalahan ini, maka kita sangatlah perlu dengan baik mengetahui makna Istihsan yang dikehendaki oleh para ulama yang mengatakan keargumentasiannya dan yang menolak. Sebelum itu, secara singkat, ada 2 madzhab dalam masalah keargumentasian Istihsan :
1.       Ulama yang mengingkari keargumentasian Istihsan, mereka adalah Imam Syafii , Ibnu Hazm Al Dzahiri ,  Mu’tazilah dan seluruh ulama Syiah.
2.       Ulama yang mengatakan keargumentasian Istihsan, mereka ialah para ulama madzhab Hanafi , Maliki  dan Hanbali.
Berikut definisi yang diungkapkan oleh para pro Istihsan :
•             Ialah tidak menghukumi suatu masalah dengan suatu hukum yang padahal masalah-masalah lain yang sama dihukumi dengan hukum tersebut, dikarenakan adanya dalil lebih kuat yang menghendaki masalah tersebut tidak dihukumi dengan hukum yang sama. (Al Karkhi dari madzhab Hanafi)
•             Ialah menggunakan salah satu yang lebih kuat diantara dua dalil (yang masing-masing menunjukan hukum tersendiri), atau mengambil maslahat juz’iyah yang padahal bertentangan dengan dalil kulli. (Imam Malik)
•             Ialah tidak menghukumi suatu masalah dengan suatu hukum yang padahal masalah-masalah lain yang sama dihukumi dengan hukum tersebut, dikarenakan adanya dalil tertentu dari Al Quran atau Sunah. (Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali)
•             Ialah bahwa saat mengambil hukum yang ditunjukan oleh qiyas, hal itu justru berakibat menghukumi sesuatu dengan extrim, sehingga kemudian dalam kondisi tertentu hukum tersebut tidak diambil karena ada hal yang mengharuskan itu pada saat-saat tertentu. (Ibnu Rusyd)
•             Ialah meninggalkan hukum yang ditunjukan oleh suatu qiyas dengan mengambil hukum lain yang ditunjukan oleh qiyas lain yang lebih kuat atau, mentakhshis qiyas dengan dalil yang lebih kuat. (Sebagian ulama)
Jika kita perhatikan definisi-definisi di atas, kita akan tahu bahwa jika memang ini adalah yang dimaksud dengan istihsan, maka sesungguhnya tidak ada perbedaan dalam mengambil hukum istihsan. Khilaf yang ada hanyalah khilaf lafdzi . Hal itu karena hukum yang ditunjukan oleh istihsan menurut berbagai definisi di atas yang diungkapkan oleh para ulama yang menyatakan keargumentasian istihsan tidak lain adalah pentarjihan dalil atas dalil lain, bukan sekedar pendapat asal-asalan tanpa dalil. Sedangkan jika kita meneliti argumen Imam Syafii dalam pernyataan beliau tentang tidak layaknya Istihsan sebagai argumentasi, diantaranya yaitu :
•             “…tidak berhak bagi yang mampu menjadi hakim atau mufti untuk menghukumi atau berfatwa dengan selain dengan dasar  khabar lazim, yaitu Al Kitab, Sunah, Ijma’ atau Qiyas.”
•             “Saya tidak menemukan satu pun ulama yang memberikan rukhsah bagi seseorang yang berakal dan beradab (sekalipun) untuk berfatwa atau menghukumi dengan pendapatnya sendiri (tanpa dalil)…”
•             “Seandainya boleh tidak mengamalkan qiyas, maka tentu boleh pula bagi orang berakal yang bukan ulama untuk berkata tanpa dalil dengan dasar apa yang ia pandang baik (beristihsan).”
Maka kita akan mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafii tentu bukanlah sebagaimana yang dimaksud oleh para imam lain yang mengatakan bahwa Istihsan adalah ‘Hujjah Syar’iyah’. Karena, jika kita memperhatikan ungkapan Imam Syafii, kita akan menemukan bahwa yang dimaksud beliau adalah pendapat tanpa dalil syar’I, sedangkan yang mengatakan kelayakan Istihsan sebagai dalil mendefinisikan Istihsan sendiri sebagai pengunggulan suatu dalil atas dalil lain.
Selain dilihat dari definisi, kita juga bisa menemukan hal-hal lain yang menunjukan bahwa khilaf tentang keargumentasian Istihsan adalah khilaf lafdzi, yaitu dengan mengetahui bagaimana sebenarnya praktek istihsan yang diterapkan oleh para ulama yang mengatakan ke‘hujjah’annya. Oke, kita paparkan hal itu bersamaan dengan macam-macam Istihsan :
1. Istihsan dengan Al-Quran
Contohnya : hukum dibolehkannya wasiat. Dalam Al Quran disebutkan “Min ba’dhi washiyyatin yusho biha aw dain”, Itu artinya wasiat dilegalkan dalam Al Quran. Dan kebolehan ini ternyata bertentangan dengan hukum yang dikehendaki Qiyas, yaitu tidak bolehnya wasiat. Karena, wasiat yang memiliki arti memberi sesuatu pada saat setelah si pemberi meninggal, itu termasuk praktek memberi oleh orang yang tidak lagi bisa memberikan hartanya. Nah, memenangkan hukum yang ditunjukkan oleh Al Quran dengan mengesampingkan hukum yang ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang disebut dengan ‘Istihsan’.

2. Istihsan dengan Hadits
Menurut Qiyas, orang puasa yang makan karena lupa tetap dihukumi batal puasanya. Karena pada dasarnya, baik yang lupa maupun yang tidak, sama-sama memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuhnya. Tapi ternyata Rasulullah Saw bersabda : “Barang siapa lupa, padahal sedang puasa, lalu dia makan dan minum, hendaklah ia melanjutkan puasanya.” (Muttafaq ‘Alaih). Nah, memenangkan hukum yang dikehendaki oleh hadits ini dengan mengesampingkan hukum yang dikehendaki oleh Qiyas di atas, inilah yang namanya ‘Istihsan’.

3. Istihsan dengan Ijma’
Ijma’ menyatakan bahwa akad Istishna’ itu boleh. Sedangkan Qiyas menyatakan bahwa itu tidak boleh karena sesuatu yang diakadi tidak ada saat akad, sehingga hukumnya disamakan dengan praktek-praktek akad yang menuntut adanya barang yang diakadi tapi barang itu belum ada saat akad, yaitu tidak diperbolehkan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi bahwa yang dimenangkan adalah hukum yang ditunjukkan oleh Ijma’. Dan Pemenangan ini atas hukum yang ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang disebut ‘Istihsan’.

4. Istihsan dengan ‘Urf atau Adat
Tidak ditentukannya ukuran air yang digunakan penyewa jasa kamar mandi, yang diperbolehkan berdasarkan ‘Urf, ternyata tidak diperbolehkan berdasarkan Qiyas. Hal ini karena, Qiyas menuntut hal-hal yang disewakan haruslah jelas, sebagaimana yang disyaratkan dalam akad sewa-menyewa. Sedangkan dalam sewa jasa kamar mandi, air yang digunakan tidak dibatasi dengan jelas. Nah, pemenangan hukum yang ditunjukkan oleh Urf atas apa yang ditunjukan oleh Qiyas, inilah yang dimaksud dengan istilah ‘Istihsan’.

5. Istihsan dengan Dharurah (Keadaan Darurat)
Yaitu memenangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan kondisi darurat dengan mengesampingkan hukum yang ditetapkan bersadarkan Qiyas. Contohnya ialah pemenangan hukum bisa disucikannya sumur yang terkotori najis dengan membuang seluruh airnya (Darurat) atas kebalikan hukum itu, yaitu tidak bisanya sumur yang sudah terkotori najis untuk disucikan kembali (Qiyas). Menurut Qiyas, sumur yang sudah terkotori najis sehingga airnya menjadi mutanajjis semua, tidak bisa disucikan kembali. Karena, sekalipun airnya dikuras habis, akan tetapi sumur tersebut masih kotor terkena bekas najis yang mencampuri air yang membasahi dasar dan dinding sumur, sehingga akan terus-terusan tercampuri najis. Nah, dalam keadaan darurat seperti ini, sumur tetap bisa disucikan berdasarkan ‘dharurah’, dengan mengesampingkan hukum yang dituntut keberadaannya oleh Qiyas.

6. Istihsan dengan Qiyas Khafi
Artinya, ada 2 Qiyas yang bertentangan, yaitu antara Qiyas Jali (jelas, tampak) dan Qiyas Khafi (samar, buram), lalu Qiyas Khafi dimenangkan atas Qiyas Jali. Contoh :
-Qiyas Jali : Bekas minumnya burung predator dihukumi najis (diqiyaskan dengan hewan-hewan predator lainnya semisal srigala, harimau, singa, dll.)
-Qiyas Khafi : Bekas minumnya burung predator dihukumi suci (diqiyaskan dengan manusia karena sama-sama dagingnya haram dimakan)
Dalam hal ini, Qiyas Khafi -yang hubungan kesamaan antara yang diqiyaskan dengan yang dijadikan bahan pengqiyasan tidak tampak jelas- dimenangkan. Karena ternyata ada kerusakan yang terjadi dalam proses Qiyas Jali, yaitu bahwa burung predator dalam kasus ini sejatinya tidak bisa disamakan dengan binatang predator lainnya semisal srigala. Karena, saat srigala minum, ia pakai lidahnya yang mengandung air liur yang tentunya najis. Sehingga, menjadi ikut najis pula lah air bekas minumnya. Sedangkan burung predator, ia minum dengan paruhnya. Paruh adalah tulang, dan tulang tidaklah najis. Atas dasar inilah qiyas khafi dirajihkan atas qiyas jali. Dan pentarjihan semacam inilah yang disebut ‘Istihsan’.

7. Istihsan dengan Maslahat
Misalnya adalah diperbolehkannya tadhmin shana’, yaitu menjadikan orang yang asal posisinya sebagai orang yang diamanati sehingga tidak harus menanggung sesuatu yang rusak atau hilang kecuali karena keteledorannya,  menjadi orang yang harus menanggung baik karena keteledorannya atau bukan. Misal, A meminta B membuatkannya baju dengan bahan yang dibawa sendiri oleh si A. Tadhmin shana’ berarti A menjadikan si B sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas bahan yang diserahkan oleh si A supaya dibuat baju oleh si B jika terjadi apa-apa pada bahan itu, baik karena ulah tangan si B maupun diluar kemampuannya, semisal rusak saat terjadi gempa bumi. Nah, secara Qiyas, hal ini tidak diperbolehkan. Karena, orang yang jual jasa tenaga bukanlah orang yang ber-yad dhaman (harus menanggung saat hilang atau rusak karena apapun), melainkan ber-yad amanah (tidak harus menaggung saat hilang atau rusak, kecuali jika itu terjadi karena keteledorannya). Akan tetapi demi kemaslahatan, tadhmin shana’ diperbolehkan untuk menjauhi kesewenang-wenangan dalam menjaga harta orang.

Wallahu A’lam
Referensi :

1.        Muhammad Ibn Idris Al Syafi’i, Al Umm, Dar Al Wafa, Manshurah, 2005, cet. III, juz 9.
2.        Muhamad Ibn Idris Al Syafi’i, Al Risalah, Al Maktabah Al Ilmiyah, Beirut.
3.        Al Sarkhasi, Ushul Al Sarkhasi, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 1993, cet. I, juz 2.
4.        Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadzir wa Jannatul Manadzir fi Ushul Al Fiqh ‘Ala Madzhab Al Imam Ahmad Ibn Hanbal, Maktabah Al Rusyd, Riyad, 1997, cet. X, jilid 2.
5.        Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, jilid 2, juz 5-
6.        Wahbah Al Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Dar Al Fikr, Damaskus, 2011, cet XIX, juz 2.
7.        Abd Al Karim Zaydan, Al Wajiz fi Ushul Al fiqh, Muassasah Risalah Nasyirun, Beirut, 2013, cet I.
8.        Umar Sulaiman Al Asyqar, Nadzarat Fi Ushul Al Fiqh, Dar Al Nafais, Yordan, 2004, cet. II.


Saturday, August 23, 2014

Fikih, Qowaid Fiqhiyah, dan Ushul Fikih

Bagi seseorang yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, seorang pelajar agama, apalagi seorang mahasiswa fakultas Syariah Islamiyah, tentu sudah sangat populer dalam benaknya ketika membaca atau mendengar tiga istilah berikut; Fikih, Qowaid Fiqhiyah, dan Ushul Fikih. Namun, dari sekian banyak tadi yang sudah familiar dengan tiga istilah tersebut, tidak sedikit pula yang belum memahami dengan pasti apa yang dimaksud dengan mereka. Maka mari sejenak meluangkan waktu menelaah makna dari tiga istilah tersebut sehingga nanti ketika tertuntut untuk menjelaskan tidak dengan asal-asalan.
PENGERTIAN ISTILAH
1. FIKIH
Dalam menjelaskan istilah-istilah, para ulama hampir selalu mengambil dua metode pendekatan, yaitu pendekatan etimologi (bahasa) dan pendekatan terminologi (istilah).
Secara etimologi kata “Fikih” mempunyai makna الفهم مطلقا (faham secara mutlak), baik itu memahami dengan teliti ( دقيقا ) atau tidak, juga apakah pemahaman tadi sesuai dengan maksud pembicara ( غرضا للمتكلم ) atau tidak. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qurán seperti (فما لهؤلاء القوم لايكادون يفقهون حديثا اي لا يفهمون ) dan ayat (وإن من شيء إلا يسبح بحمده ولكن لا تفقهون تسبيحهم أي لاتفهمون تسبيحهم ).
Sedangkan secara terminologi kata “fikih” dimutlakkan untuk dua makna1 :
a.       Fikih adalah mengetahui hukum-hukum syarí yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (muslim, baligh, berakal) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (معرفة الأحكام الشرعية المتعلقة بأعمال المكلفين وأقوالهم المكتسبة من أدلتها التفصيلية ). Hal ini seperti pengetahuan kita bahwa niat ketika berwudlu adalah wajib di ambil dari dalil tafsily ( إنما الأعمال بالنيات ), pengetahuan kita bahwa niat pada malam hari adalah salah satu syarat sah puasa fardlu diketahui dari dalil ( من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له ) dan pengetahuan kita bahwa mengusap sebagian kepala adalah wajib di ambil dari dalil ( وامسحوا برؤوسكم ), serta yang lainnya. Semuanya tadi dinamakan dengan fikih menurut istilah fuqoha’.
b.      Pengertian fikih secara istilah yang kedua adalah hukum syar’I itu sendiri ( الأحكام الشرعية نفسها   ). Sehingga ketika kita bilang “dia sedang belajar fikih”, maka yang dimaksud dari perkataan tersebut adalah “dia sedang mempelajari hukum-hukum syarí yang ada dalam kitab-kitab fikih”, seperti hukum-hukum permasalahan wudlu, hukum-hukum permasalahan sholat dan sebagainya.
Dari dua pengertian fikih yang telah dipaparkan di atas dapat di ambil bahwa perbedaan keduanya adalah pada “mengetuhui” dan “hukum”nya. Maka kata fikih ketika di sebut adakalanya bermakna “mengetahui hukum-hukum syarí” dan adakalanya bermakna “hukum-hukum syarí itu sendiri” sesuai dengan konteks kalimat.

2. QOWAID FIQHIYAH
Istilah al-Qowaid al-Fiqhiyah atau yang lebih di kenal dengan Kaidah Fikih dalam bahasa Indonesia tersusun dari dua kata, “Qowaid” yang merupakan bentuk jamak (plural) dari “qoidah” dan “Fiqhiyah” yang merupakan nisbah dari dasar kata “fikih”.
Untuk memahami apa itu Qowaid Fiqhiyah maka perlu diketahui apa itu “qowaid” dan apa itu “fikih” terlebih dahulu sebelum nanti bakal diketahui apa makna dari gabungan dua kata tersebut. Pembahasan mengenai fikih sudah dijelaskan sebelumnya maka sekarang yang perlu dipahami adalah makna dari kata “Qowaid”.
Qowaid atau qoidah secara etimologi mempunyai arti sesuatu yang menjadi landasan atau pondasi ( الشيء الأساس التي يبنى عليه  ), sedangkan dalam pengertian terminologi qoidah adalah hukum global yang diterapkan pada furu’ (cabang-cabang)nya untuk mengetahui hukum dari furu’ tersebut (حكم كلي ينطبق على جميع جزئياته غالبا لتعرف أحكامها منه إما على سبيل القطع أو على سبيل الظن )2.
Sehingga, Kaidah Fikih adalah hukum syarí secara global yang diterapkan pada furu’ (cabang-cabang)nya untuk mengetahui hukum dari furu’ tersebut. Seperti misalnya kaidah fikih “setiap perkara itu tergantung niatnya”  ( الأمور بمقاصدها ), maka dari kaidah ini diketahui bahwa setiap ibadah itu tidak sah kecuali disertai dengan niat, dengan beberapa alasan yang dipaparkan panjang lebar dalam pembahasan ilmu Kaidah Fikih.
Namun sebagaimana pengertiannya tadi bahwa kaidah fikih adalah hukum syarí secara global, kata global atau غالب dalam Bahasa arab yang berarti sebagian besar atau tidak semua dan mempunyai pengecualian, maka pada setiap kaidah fikih ini hampir selalu terdapat pengecualian. Misalnya pada kaidah “setiap perkara itu tergantung niatnya” atau setiap ibadah itu harus diniati ibadah, terdapat beberapa permasalahan furu’ disana alias terdapat beberapa ibadah yang tidak harus diniati ibadah tapi tetap bernilai ibadah. Contohnya yaitu membaca al-Qurán, dzikir dan yang lainnya. Ibadah-ibadah ini tidak perlu diniati ibadah ketika dilaksanakan namun tetap bernilai ibadah, karena tidak ada kegiatan serupa selain karena ibadah.

3. USHUL FIKIH
Untuk istilah Ushul Fikih terdapat dua pemahaman, pemahaman secara susunan kata dan pemahaman setelah istilah tersebut ditetapkan sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan.
a.       Pemahaman Secara Susunan Kata
Seperti Kaidah Fikih, istilah Ushul Fikih tersusun dari dua kata, “al-Ushul” yang merupakan bentuk jamak dari kata “al-Aslu” dan “al-Fiqh”. Mengenai fikih sudah dijelaskan sebelumnya baik secara etimologi maupun terminologi, maka sekarang yang perlu di bahas cukup kata “al-Aslu”nya untuk mengetahui apa makna istilah Ushul Fikih ditinjau dari susunan katanya.
Kata al-Aslu secara etimologi mempunyai makna seperti kata kaidah, yaitu sesuatu yang menjadi landasan atau pondasi ( الشيء الأساس التي يبنى عليه  ). Sedangkan secara terminologi al-Aslu mempunyai empat makna;
-          Sesuatu yang kepadanya sesuatu yang lain diqiyaskan ( الصورة المقيس عليها ), seperti perkataan الخمر أصل للنبيذ . Makna dari aslu di sana adalah al-maqis alihi.
-          Kaidah dasar ( القاعدة المستمرة ), seperti perkataan إباحة الميتة للمضطر على خلاف الأصل أي على خلاف القاعدة المستمرة  
-          Yang rojih ( الراجح ) seperti pernyataan  الأصل في الكلام الحقيقة  dan
-          Dalil ( الدليل ) seperti pada kalimat الأصل في وجوب الزكاة قوله تعالى "أتوا الزكاة", makna aslu di sana adalah dalil.
Karena istilahnya adalah Ushul Fikih, lafad ushul disandarkan pada lafad fikih, maka dari keempat makna istilahi dari al-Aslu yang paling pas adalah ketika bermakna dalil, sehingga ketika disusun (Ushul Fikih) bermakna “dalil-dalil global yang dengannya diketahui hukum-hukum syarí yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (muslim, baligh, berakal) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci” ( الأدلة الإجمالية التي يبنى عليها معرفة الأحكام الشرعية المتعلقة بأعمال المكلفين وأقوالهم المكتسبة من أدلتها التفصيلية  ).
b.      Pemahaman Setelah menjadi Sebuah Cabang Ilmu
Sedangkan makna Ushul Fikih setelah dijadikan sebagai sebuah cabang ilmu adalah mengetahui keadaan-keadaan dalil fikih secara global, cara beristifadah dari dalil-dalil fikih tersebut, dan hal ihwal mujtahid ( معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الإستفادة منها وحال المستفيد  )3, mencakup tiga komponen.
komponen pertama dari pengertian di atas adalah “mengetahui keadaan-keadaan dalil fikih secara global”, misal dari kompenen ini adalah kaidah kata perintah baik di dalam al-Qurán maupun al-Hadits yang merupakan sumber dalil hukum syarí ketika tidak dibarengi dengan sesuatu yang menunjukkan pada makna lain, maka perintah tersebut diartikan sebagai perintah wajib. Contohnya kalimat “أقيموا الصلاة”, karena tidak ada sesuatu yang mengarahkannya pada makna lain maka dengan kaidah tadi mujtahid menetapkan bahwa hukum dari sholat lima waktu adalah wajib.
Kemudian komponen kedua pengertian Ushul Fikih tadi (cara beristifadah dari dalil-dalil fikih tersebut) yaitu bahwa salah satu fokus pembicaraan dalam ilmu Ushul Fikih adalah hal-hal yang berkaitan dengan pentarjihan dalil-dalil fikih tafsily ketika terjadi tabrakan.
Dan komponen terakhir (hal ihwal mujtahid) yaitu bahwa ilmu ushul fikih membahas hal-hal yang berkaitan dengan mujtahid, mulai dari syarat-syarat bisa dikatakan sebagai seorang mujtahid dan sebagainya.

KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas setidaknya dapat ditarik beberapa kesimpulan :
1. Fikih itu mempunyai dua makna, bisa berarti “pengetahuan akan hukum-hukum syarí” atau “hukum syarí itu sendiri”, yang keduanya merupakan hasil ijtihad dari dalil-dalil yang terperinci.
2. Kaidah fikih adalah hukum syarí secara global yang diterapkan pada furu’ (cabang-cabang)nya untuk mengetahui hukum dari furu’ tersebut. Sehingga dalam permasalahan ini terdapat ikhtilaf di antara para ulama’ apakah ia boleh digunakan untuk menetapkan hukum ataukah tidak, karena dia tidak bersifat mutlak melainkan hanya bersifat global saja berbeda dengan ushul fikih. sedangkan yang disepakati tentang kaidah fikih adalah dia boleh digunakan sebagai penguat dalam penetapan hukum.
3. Ushul fikih adalah mengetahui keadaan-keadaan dalil fikih secara global, cara beristifadah dari dalil-dalil fikih tersebut, dan hal ihwal mujtahid. Sehingga dalam cabang ilmu ini yang di bahas adalah seputar tiga komponen tersebut.
1 alfiqh almanhaji.darul qolam.hal 7
2 Abdul Aziz Muhammad Azzam.alqowaid alfiqhiyah.darul hadits. Hal 11
3 Abdul Fatah husani.buhuts fi ushul fiqh.hal 6


Wallahu a’lam

Thursday, August 21, 2014

Alfatihah, Tujuh Ayat yang Diulang

Al-Fatihah, Tujuh Ayat yang di Ulang

Diantara fungsi Al-Quran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyampikan risalah ketauhidan-Nya. Sebagai umat islam yang taat pada perintah Tuhannya, pastilah mereka tidak asing dengan bacaan surat Al-fatihah, karena minimal setiap harinya membaca berulang-ulang minimal lima kali sehari dalam sholat wajib.  Para bijak bestari mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”, oleh sebab itu, alangkah naifnya diri kita sebagai umat islam yang mengaku cinta Allah dan Rasul-Nya, siang dan malam terus melakukan sholat wajib dan membaca surat Al-fatihah di dalamnya, akan tetapi tidak memahami esensi dari surat Al-fatihah itu sendiri, yang memiliki berjuta-juta makna tersirat didalamnya, yang dengan kata lain kita tidak mengenal surat Al-fatihah dengan baik.
As-Shaikh Muhammad Ali As-Sobuni dalam karyanya yang berjudul “Tafsir Ayat Ahkam” memaparkan beberapa poin penting tentang surat Al-fatihah, serta menjelaskan beberapa keistimewaan yang terkandung didalamnya.
 Dibalik Rahasia Surat Al-Fatihah
Pertama, Surat Al-Fatihah adalah surat pertama dalam (urutan) mushaf Al-Quran. Hal ini dikuatkan dengan penamaan surat itu sendiri, dalam bahasa arab, kata Al-Fatihah diambil dari kata Iftitah artinya ‘pembuka’, oleh karena itu surat Al-fatihah berada di bagian awal dalam urutan tata terbib peletakan surat dalam mushaf Al-Quran.
Kedua, Surat Al-Fatihah disebut sebagai ‘Ummul Kitab’ (Induk dari Al-Quran), karena makna dari semua isi Al-Quran terkandung di dalamnya. Dimulai dengan pujian kepada Allah SWT, pengakuan keesaan Tuhan, pengabdian seorang hamba dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta permohonan untuk memperoleh hidayah serta penetapan iman.
Ketiga, Surat Al-Fatihah disebut juga sebagai “Sab’ul Matsani”, yaitu tujuh ayat yang diulang-ulang. Artinya surat Al-fatihah yang berjumlah tujuh ayat ini dibaca berulang-ulang di setiap rakaat saat melaksanakan sholat. Diriwayatkan dari sekelompok para sahabat, bahwasanya mereka telah menafsirkan firman Allah SWT (ولقد اتيناك سبعا من المثاني ) , mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Sab’ul Matsani” dalam ayat ini adalah surat Al-Fatihah, karena ayat dari surat ini sesuai dengan namanya, yaitu tujuh ayat.
Imam Al-Qurthubi juga mengatakan dalam kitab tafsirnya yang sangat tersohor diseluruh dunia, “Al-Jâmi  lî Ahkâmil Quran” bahwa surat Al-Fatihah memiliki dua belas nama lain, diantaranya yaitu As-Syifa, Al-Wafiyah, Al-Kafiyah, Al-Asas dan Al-Hamdu. Bahkan, sebagian ulama lainnya, yaitu Imam Al-Alusi berpendapat bahwa nama surat Al-fatihah mempunyai nama sekitar dua puluh lebih, hal ini dijelaskan dalam kitab beliau Rûhul Ma’âni.

 Keistimewaan Surat Al-Fatihah
Pertama, Diriwayatkan dari Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, dari Abu Said bin Muala R.A dia berkata : Ketika aku sedang mendirikan sholat di masjid, tiba-tiba Rasulullah SAW memanggilku sedangkan aku tidak menjawab sampai aku selesai menunaikan sholatku, dan setelah selesai aku mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, Kenapa kau tidak datang saat kupanggil? Abu Said menjawab, aku tadi sedang melaksanakan sholat wahai Rasulullah. Nabi SAW bersabda, apa kau tidak mendengar bahwa Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (Q.S Al-Anfal: 24).
Kemudian sebelum Abu Said keluar masjid, Nabi SAW bersabda, kemarilah wahai Abu Said, aku akan mengajarimu sebuah surat yang paling mulia di dalam al-Quran. Beliau bersabda, الحمد لله رب العالمين   [Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam], ketahuilah ayat itu adalah potongan dari surat Al-Fatihah, ialah “Sab’ul Matsâni”  Tujuh ayat yang diulang.
Kedua, Diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam musnad beliau, bahwa konon sahabat Ubai bin Kaab membaca Ummul Quran, Surat al-Fatihah dihadapan Nabi SAW, dan beliau bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku berada dibawah genggaman-Nya, tidaklah diturunkan sebuah surat yang bisa menyamai agungnya Surat ini  dalam kitab Taurat, Injil, Zabur, ataupun Al-Furqan, ialah “Sab’ul Matsani”.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAW mengistimewakan surat Al-fatihah dengan menyebutnya sebagai “Sab’ul Matsani” Tujuh ayat yang diulang. Tegasnya yaitu setiapkali melaksanakan sholat, pastilah kita tidak pernah luput dari membaca surat Al-fatihah dalam setiap rakaatnya, tujuh belas rakaat wajib dalam shalat fardlu ditambah beberapa rakaat shalat sunnah lainnya, serta banyak lagi bacaan surat Al-fatihah yang dibacakan diluar shalat, pastilah setiap harinya yang paling banyak diulang adalah bacaan surat Al-fatihah, itulah diantara sebab surat Al-Fatihah dinamakan “Sab’ul Matsani” Tujuh ayat yang diulang.

-Bersambung-

Tuesday, August 19, 2014

Memilih Hukum Yang Paling Ringan dari Berbagai Madzhab

Bolehkah kita sebagai orang awam atau dengan kata lain ‘bukan mujtahid (ulama yang sudah pada tingkat mampu menetapkan hukum sendiri)' memilih hukum yang ringan-ringan saja dari berbagai madzhab?
Sebelum sampai kepada jawaban dari pertanyaan ini, sebenarnya ada pertanyaan lain, yaitu “Bolehkah kita gonta-ganti madzhab atau, bolehkah menggabungkan berbagai madzhab?”
Secara umum, mayoritas ulama berpendapat bahwa kita tidak wajib menetapi satu madzhab saja. Artinya, kita sah-sah saja hari ini bermadzhab Syafii dan besok bermadzhab Hanafi, atau dalam sholat kita menggunakan madzhab Maliki sedangkan dalam puasa kita mengikuti madzhab Hanbali. 
Setelah kita tahu hal itu, mengenai boleh atau tidaknya memilih hukum-hukum yang ringan dari setiap madzhab, secara global ada 3 pendapat ulama:

1. Tidak boleh
Alasannya karena hal tersebut merupakan bentuk mengikuti hawa nafsu. Sedangkan syariat Islam melarang yang demikian. Allah berfirman :
 ((  فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله ورسوله  ))
“..Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)..” (QS. An Nisa : 59)
Dengan ini, maka suatu permasalahan yang sedang dalam perselisihan -kebetulan satunya mudah, sedangkan lainnya sulit- tidak boleh dikembalikan kepada hawa nafsu, melainkan harus kepada syariat. (Imam Ghozali, Ulama madzhab Hanbali dan yang paling shohih diantara beberapa pendapat ulama madzhab Maliki).

2. Boleh
Alasannya karena kita sah-sah saja mengambil yang mudah selama masih dalam koridor yang diperbolehkan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
"...وَمَا عُرِضَ عَلَيْهِ أَمْرَانِ أَحَدُهُمَا أَيْسَرُ مِنْ الْآخَرِ إِلَّا أَخَذَ بِأَيْسَرِهِمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَأْثَمًا فَإِنْ كَانَ مَأْثَمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ"
“..Dan tidaklah beliau dihadapkan pada dua hal, salah satunya lebih mudah dari satunya lagi, melainkan beliau pasti memilih yang termudah diantara keduanya, kecuali jika yang termudah itu merupakan perbuatan dosa. Jika merupakan perbuatan dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya. (HR.Bukhari dan Ahmad)
(Pendapat yang unggul dalam madzhab Hanafi, sebagian ulama madzhab Maliki dan mayoritas ulama madzhab Syafii)

3. Harus memilih yang unggul diantara pendapat para mujtahid
Alasannya ialah karena perbedaan pendapat para mujtahid bagi para muqallid (penganut madzhab) diposisikan sebagai dalil-dalil yang saling bertentangan. Saat ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits adalah dalil bagi para mujtahid dalam berpendapat, pendapat mereka sendiri posisinya adalah sebagai dalil bagi para muqallid. Sehingga jika para mujtahid berbeda pendapat, hal itu bagi para muqallid sama saja dengan pertentangan antara suatu dalil dengan dalil lainnya. Maka dari itu, para muqollid harus memilih mana yang rajih (yang lebih condong pada kebenaran) diantara pendapat-pendapat para mujtahid sebagaimana para mujtahid melakukan hal itu terhadap dalil-dalil baik dari Al Quran maupun As Sunnah. Pentarjihan oleh muqallid bisa dengan melihat mujtahid mana yang lebih alim dalam agama, bisa dengan membandingkan dalil-dalil yang digunakan para mujtahid dalam berpendapat, atau lainnya. (Imam Syathibi dan Ibnus Sam’ani).